Kamis, 21 Juli 2011

Legenda Boru Saroding Pandiangan

Legenda Namboru Boru Saroding dituturkan dalam bahasa Batak, agar penyampain informasi yang bertujuan mudah di baca dan diketahui oleh Pecinta Seni Budaya Sejarah Tanah Air, saya lakukan edit terjemah ke dalam Bahasa Indonesia tanpa mengurangi atau mengubah fakta dan tujuan dari Legenda Boru Saroding.

Suatu hari menjelang siang, Boru Saroding pergi ke Danau Toba untuk mandi sekaligus mencuci pakaian tepatnya di tepi pantai tempat tinggal orang tuanya yang terletak diantara Palipi-Mogang (Kecamatan Palipi Kab.Samosir) yang bersebelahan dengan Rassang Bosi dan Dolok Martahan. Boru Saroding terkenal dengan kecantikannya, konon pada jaman itu Boru Saroding diklaim sebagai Putri tercantik dari seluruh Putir/Boru Pandiangan, karena kecantikannya, banyak Pemuda yang datang dari kampung lain bahkan dari seberang Danau Toba untuk merayunya (Manandangi) akan tetapi tak satupun yang mampu menahlukkan hatinya baik yang kaya ataupun yang tampan, pemuda yang datang pulang tanpa hasil namun pemuda-pemuda tersebut juga tidak merasa sakit hati karena Boru Saroding menyambut mereka dengan sopan dan ramah.


Boru Saroding yang dikenal pendiam, sopan, taat akan orang tua dan baik hati terhadap teman-temannya, pandai membuat Ulos Batak, pekerja ulet membuat orang tuanya cukup heran sekaligus bangga terhadap putrinya Boru Saroding yang dalam adat Batak, sifat dan sikap Boru Saroding merupakan calon menantu idaman yang sangat di cari oleh putra raja.

Ketika Boru Saroding sedang mandi dan membilas rambutnya yang panjang dan indah di tepi pantai Danau Toba, tiba tiba sebuah sampan yang ditumpangi seorang pemuda tampan dan berwibawa yang berdiri di atas sampan datang menghampiri Boru Saroding. Melihat pemuda yang mengenakan Ulos Batak dan melihat tampangnya, Boru Saroding berpikir bahwa pemuda tersebut bukanlah seorang nelayan biasa seperti yang sering dilihat disekitar pantai Danau Toba, ketika Pemuda bersampan tersebut semakin dekat ke tempat dimana Boru Saroding berkeramas jeruk purut (Anggir dlm Bahasa Batak) hati Boru Saroding berdebar dan bertanya-tanya dalam hati “Siapakah pemuda ini?” seraya bergegas dengan cepat membersihkan rambutnya, karena merasa malu dipandangi seroang pemuda sedang mandi. Dengan tergesa-gesa Boru Saroding pun siap mandi dan beranjak dari pantai menuju kediaman orang tuanya akan tetapi ketika Boru Saroding hendak melangkah, sang Pemuda pun berkata kepada Boru Saroding “Putri Raja.. kenapa tergesa gesa pulang” tanya pemuda tersebut kepada Boru Saroding. Seketika langkah Boru Saroding pun berhenti karena terkejut dan seraya melirik ke arah Pemuda yang memanggil nya, “Pemuda ini tampan dan berwibawa ya” penilaian Boru Saroding dalam hati dan “Kebetulan masih banyak pekerjaan saya yang harus saya selesaikan di rumah kami” dalih Boru Saroding kepada Pemuda tersebut, si Pemuda Tampan dan Berwibawa tersebut pun menghampiri Boru Saroding seraya memperkenalkan diri dan tempat asalnya dari Rassang Bosi (Desa Sabulan Kec.Sitio tio) yang disebut Ulu Darat kepada Boru Saroding. Dengan hormat Sang Pemuda pun menyampaikan maksud dan tujuannya menemui Boru Saroding sekaligus berniat agar Boru Saroding mau memperkenalkan pemuda tersebut kepada kedua orang tua Boru Saroding. Karena dari awal Boru Saroding melihat pemuda tersebut sudah terkesan dengan Ketampanan dan Kewibawaan sang pemuda, Boru Saroding pun merasa senang dan menyetujui permohonan sang pemuda, merekapun bergegas berjalan bersama menuju rumah Boru Saroding.
Ketika Boru Saroding dan Pemuda tersebut tiba di rumahnya, seketika Orang Tua dan saudara saudarinya merasa kagum akan tampang dan cara bicara sang pemuda yang datang bersama Boru Saroding, mereka serasa disulap melihat sang pemuda tersebut yang berbadan kekar tersebut.
Pendek cerita, Sang Pemuda tersebutpun menyampaikan niat baiknya yang ingin mempersunting Boru Saroding sebagai Isterinya kepada Kedua Orang Tua dan Saudara-Saudari Boru Saroding, Guru Solandason (Ayah dari Boru Saroding) meminta tanggapan dari putrinya Boru Saroding, apakah putrinya Boru Saroding menyukai pemuda tersebut, Boru Saroding pun menyatakan bahwa putrinya suka dan mau menjadi isteri Pemuda tersebut.
Tak lama kemudian, Guru Solandason meberitahukan kepada Sanak saudaranya selanjutnya Pemuda dan Boru Saroding pun mendapat restu dari kedua orang Boru Saroding kemudain Upacara Adat Pernikahanpun segera dilaksanakan ditempat tinggal Boru Saroding, setelah acara adat selesai merekapun diberangkatkan menuju tempat dimana Suami Boru Saroding tinggal.
Merekapun naik kesampan menuju Rassang Bosi, akan tetapi Boru Saroding sangat terkejut dikarenakan mereka begitu cepat tiba, Boru Saroding pun semakin heran karena Sang Suaminya menceritakan tempat tinggalnya diatas gunug ditengah hutan Tombak Ulu Darat, namun Boru Saroding tidak terlalu kawatir karena ketika mereka berjalan melewati jurang yang dalam dan terjal ditambah hutan yang begitu liar, Sang Suami menuntun langkahnya, memegang tangan Boru Saroding sehingga Boru Saroding tak sedikitpun merasa lelah bahkan Suaminya terlihat kuat tanpa keringat melewati daerah yang cukup melelahkan untuk di lalui.
Tidak berapa lama kemudian, Boru Saroding dan Suaminya tiba ti rumah Suaminya, merekapun istirahat hingga tertidur pulas sampai keesokan harinya ketika menjelang pagi Boru Saroding pun terbangun namun Boru Saroding tidak melihat Suaminya sehingga Boru Saroding melihat ke samping rumah dan ke belakang rumah, kemudain ketika Boru Saroding hendak melihat suaminya ke depan rumah Boru Saroding pun tersentak karena terkejut melihat se ekor ular berukuran sangat besar melintas di halaman depan rumah suaminya tiba tiba dengan sangat tergesa gesa Boru Saroding menutup pintu rumah karena merasa sangat terkejut dimana Boru Saroding sebelumnya tidak pernah melihat ular yang urukannya sangat besar dan memiliki kepala yang tidak seperti kepala ular pada umumnya, dengan rasa taku yang luar biasa dan rasa heran Boru Saroding pun duduk diam terpaku di dalam rumah, tak lama kemudian, Boru Saroding suara Suaminya memanggil namanya sehingga Boru Saroding dengan segera bergegas membukakan pintu rumah untuk suaminya dan langsung mengatakan “Tadi saya melihat se ekor ular besar dengan kepala yang aneh melintas dari halaman rumah kita menuju pohon besar dihutan” kata Boru Saroding kepada Suaminya, kemudain Suaminya menjawab pertanyaan Boru Saroding “Tidak usah takut, ular itu ular yang baik dan tidak mengganggu”.
Mereka menjalani dan melalui hari kehari dengan kebahagian karena Suami Boru Saroding selalu memenuhi kebutuhan mereka tanpa kekurangan bahkan Suami Boru Saroding cukup pintar menghibur Boru Saroding dengan canda dan tawa, serta memiliki perhatian dan kasih sayang yang begitu besar kepada Boru Saroding karena Dia berusaha mencarikan buah buahan dan tumbuh tumbuhan yang mampu membuat kecantikan Boru Saroding terawat. Semua hal tersebut dilakukan dan dipenuhi Suaminya dengan sangat sangat mudah tanpa ada keluhan apapun sehingga mereka hidup dalam kebahagian melalui hari hari rumahtangga mereka. Akan tetapi semakin lama Boru Saroding pun merasa heran yang dari hari ke hari semakin bertambah kecurigaanya terhadap cara hidup Suaminya yang penuh kemudahan hingga pada suatu saat tanpa sengaja Boru Saroding melihat Suaminya di bagian atas rumah (Para-Para dlm Bahasa Batak) sedang berubah wujud menjadi seekor ular berukuran sangat besar persis seperti ular yang pernah Boru Saroding lihat sebelumnya, namun Boru Saroding berura purak tidak melihat kejadian tersebut karena merasa takut Ular tersebut marah kepada Boru Saroding kemudai ular tersebut melintas keluar dari rumah menuju hutan hingga Boru Saroding tinggal sendirian di dalam rumah.
Boru Saroding merasa sangat terpukul dan merasa penyesalan yang begitu dalam karena tanpa berpikir panjang dan tanpa mengenal lebih jauh siap laki-laki tersebut hingga menerima permintaannya menadi isterinya karena Boru Saroding telah mengetahui bahwa Suaminya bukan manusia biasa. Menjelang sore, suaminyapun kembali dari hutan membawa bekal berupa buah-buahan, daging Rusa, Burung dan Burung kemudian Boru Saroding pun bergegas menyambut suaminya membawa hasil yang dibawa suaminya ke dapur untuk dimasak dan dijadikan untuk makan malam. Setelah Boru Saroding selesai menyiapkan makan malam, merekapun makan malam bersama di rumah yang berada ditengah hutan rimba tersebut dimana selama ini suaminya tinggal. Setelah usai makan malam, merekapun berbincang bincang dan dengan jujur Suaminya memberitahukan siapa dia sebenarnya kepada isterinya Boru Saroding, “Saya sebenarnya adalah Penguasa Ulu Darat, yang bisa berubah ubah wujud dari Manusia menjadi Ular dan dari Ular menjadi Manusia” tegas Suaminya kepada Boru Saroding akan tetapi Boru Saroding cukup pintar menyembunyikan rasa taku dan penyesalannya yang sangat dalam kepada suaminya, Boru Saroding hanya tersenyum kepada Suaminya, sehingga suaminya merasa senang karena melihat isterinya Boru Saroding tidak terkejut atas pengakuannya yang jujur kepada Boru Saroding.
Hingga suatu ketika, kedua Saudara Boru Saroding datang berkunjung ke rumah Boru Saroding yang berada di antara pegunungan ditengah-tengah hutan yang dinamai Tombak Ulu Darat karena kedua saudaranya sudah sangat merindukan Boru Saroding yang merupakan saudar perempaun tersayang bagi kedua saudara Boru Saroding tersebut, Boru Saroding pun merasa sangat bahagia karena sudah dikunjugi oleh Saudaranya sehingga dengan sangat gembira, Boru Saroding pun menyajikan berbagai aneka makanan dan buah-buahan kepada kedua saudaranya tersebut. Sembari menikmati makanan yang banyak, mereka bercerita dan berbincang bincang hingga rasa rindu mereka terobati bahkan waktu tidak terasa, senja pun tiba, seperti biasanya Boru Saroding tau jika Suaminya akan segera kembali dari hutan dan dengan tergesa gesa Boru Saroding berusaha mengajak kedua saudaranya untuk bersembunyi di bagian atas rumah dibawah atap kearena Boru Saroding sudah mendengar suara suara pertanda suaminya akan datang dan karena Boru Saroding merasa ketakutan dimana Boru Saroding tau bahwa ular tersebut mau memakan manusia, kedua saudaranya pun bersembunyi agar tidak terlihat oleh Suami Boru Saroding.
Suami Boru Saroding pun tiba di rumah, tiba-tiba suaminya tampak heran dan sepertinya menciup sesuatu yang lain dari yang lain dan bertanya “Sepertinya saya mencium darah manusia lain di rumah ini” kepada isterinya Boru Saroding. Dengan tergesa gesa Boru Saroding berupaya mengalihkan pembicaraan dengan cepat mengidangkan makan malam Suaminya kemudian Suami Boru Saroding selesai makan malam selanjutnya Boru Saroding mengajak Suaminya untuk beristirahan. Ketika mereka hendak beristirahat, sesekali dengan tampak yang penuh curiga, Suami Boru Saroding bertanya, “Saya mencium ada orang lain dirumah ini?” tanya Suaminya kepada Boru Saroding, “Ah… sudalah, itu hanya perasaan mu saja, tidak ada orang lain dirumah ini” jawab Boru Saroding dengan rasa takut yang luar biasa kepada Suaminya, “Ini sudah larut malam, sebaiknya kita istirahat saja” ajak Boru Saroding kepada Suaminya yang masih tetap bertingkah aneh penuh curiga. Karena tidak tahan lagi Boru Saroding menyembunyikan rasa takutnya kepada Suaminya sehingga Boru Saroding pun memberitahukan keberadaan kedua saudaranya kepada Suaminya “Ampuni .. saya suamiku, karena aku telah membohongi mu” kata Boru Saroding kepada Suaminya, “Benar dirumah ini ada orang lain selain kita, karena saya beripikir engkau akan marah jika engkau tau saudaraku datang mengunjungi kita ke rumah ini” aku Boru Saroding dihantui rasa takut yang sangat besar kepada Suaminya, “Mereka datang karena sudah sangat rindu kepada kita” kata Boru Saroding sambil memohon dan membujuk Suaminya, kemudian Suami Boru Saroding meminta agar kedua saudara Boru Saroding dipanggil untuk datang menghadap Suaminya, dengan perasaan yang masih dihantui ketakutan, Boru Saroding pun memanggil kedua saudaranya keluar dari tempat persembunyian mereka di bagian atas ruhak dibawah atap rumah (Dalam Bahasa Batak disebut Bukkulan Ni Ruma).
Kemudian kedua saudara Boru Saroding menghampiri Suami Boru Saroding seraya saling bersalaman dan tidak seperti ketakutan yang dibayangkan oleh Boru Saroding, justru kedua saudara Boru Saroding tampak gembira bercerita dengan suaminya hingga saking asiknya pembicaraan mereka (Suami dan Saudara Boru Saroding) tidak terasa waktupun sudah menjelang pagi.
Setelah pagi hari tiba, kedua saudara Boru Saroding berniat untuk kembali ke Samosir, sehingga kedua saudaranya memberitahu kepada Boru Saroding bahwa mereka akan kembali ke Samosir pagi ini, Boru Saroding pun mengajak kedua saudaranya untuk mohon pamit kepada Suaminya dan ketika hendak berpamitan, salah satu saudara Boru Saroding berkata “Lae, kami akan segera pulang ke Samosir, Lae kasi apa sama kami untuk kami bawa pulang ke Samosir? Tanya saudara Boru Saroding kepada Suaminya, “Terimakasih Lae karena telah datang berkunjung kesini” jawab Suami Boru Saroding kepada kedua saudaranya sambil memberikan 2 (dua) buah bingkisan yang di balut kain dan diikat dengan tali kepada Pandiangan (Kedua Saudara Boru Saroding) seraya berpesan “Hanya saja ada syarat yang harus dipenuhi oleh Lae” kata Suami Boru Saroding “Apa saja syaratnya Lae?” tanya kedua Saudara Boru Saroding kepada Suaminya “Sesampainya di Samosir, bingkisan ini jangan dibuka akan tetapi lae harus menunggu hingga 7 (tujuh) hari lamanya baru Lae Pandiangan bisa membuka bungkusan ini” pesan Suami Boru Saroding kepada kedua saudara Boru Saroding. Kedua Saudara Boru Saroding menjawab “Ia Lae, akan kami penuhi pesan lae”. Kemudian Pandiangan (Kedua saudara Boru Saroding) pun pamit dan beranjak pulang melewati hutan yang cukup mengerikan, melalui lembah dan jurang jurang yang terjal hingga kedua saudara Boru Saroding pun tiba di tepi pantai Desa Sabulan yang selanjutnya mereka menaiki sampan untuk menyebrang ke Pulau Samosir.
Setelah mereka tiba di rumah masing masing dimana pada saat itu kedua saudara Boru Saroding (Pandiangan) sudah menikah dan tinggal dirumah bersama isteri masing-masing, mereka menceritakan perjalanan yang ditempuh kepada isteru mereka masing masing, mereka menunjukkan bingkisan (Gajut) yang mereka bawa kepada isterunya. Salah satu dari Pandiangan (Saudara Boru Saroding) bersungut-sungut karena meras kesal dengan hanya menerima bingkisan (Gajut) kecil dari Laenya yang sudah bersusah paya mengunjungi Lae dan Saudarinya di tengah hutan diatas gunung Ulu Darat tersebut, “Masa jauh-jauh dari Samosir ke Ulu Darat hanya dikasih bungkusan kecil kek gini, itupun pake syarat pula itu” kata salah satu Saudara Boru Saroding kepada isterinya. Pendek cerita, karena tidak sabar menunggu hari yang telah dipesankan oleh Laenya ditambah rasa penasaran yang cukup besar, maka Pandiangan (Sudara Boru Saroding) membuka bungkusan tersebut, karena tidak sesuai dengan pesan Suami Boru Saroding, maka bungkusan yang dibuka salah satu saudara Boru Saroding tersebutpun hanya berisikan: Tanah, Kunyit, Potongan Kayu kecil dan ulat-ulat, karena merasa dihina, Pandiangan (salah satu saudara Boru Saroding yang membuka bungkusan tersebut) pun marah dan mengucapkan makian terhada Suami Boru Saroding, “Kurang ajar, masa kekgini cara dia menghargai saya selaku Saudara laki-laki Boru Saroding”, “Tidak atu sopan terhadap keluarga isterinya” kata salah satu saudara Boru Saroding lalu membuang bungkusan yang dibuka tersebut sebelum waktunya. Kemudian Pandiangan membujuk dan mengajak adiknya Pandiangan paling bungsu untuk turut membuka bungkusan yang diberikan oleh Laenya tersebut, “Buka aja dik bungkunsannya, mungkin isinya sama saja seperti yang telah abang buka tadi” kata Pandiangan kepada saudaranya akan tetapi Pandiangan paling bunsu tetap tidak mau mebuka bungkusan tersebut dan bertahan memenuhi pesan yang telah disampaikan oleh Laenya (Suami Boru Saroding).
Setelah hari ke 7 (tujuh) tiba sesuai dengan pesan Laenya, maka Pandiangan paling bungsu pun membuka bungkusan tersebut dan ketika bungkusan tersebut dibuka, tiba-tiba keluar ulat ulat yang jumlahnya sangat banyak dari bungkusan akan tetapi dalam hitungan beberapa detik, ulat-ulat yang tadinya keluar dari bungkusan tersebut berubah menjadi kerbau dan sapi dengan jumlah yang sangat banyak juga saking banyaknya jumlah sapi dan kerbau tersebut, hingga lokasi pekarangan perkampungan tersebut tirlihat padat sementara kunyit yang keluar dari bungkusan tersebut berubah menjadi emas dengan jumlah yang cukup banyak dan potongan kayu kecil pun berubah menjadi batang pohon yang memadati lokasi perkampungan Pandiangan paling bungsu.
Beberapa bulan kemudian, ternak sapi dan kerbau yang dimiliki Pandiangan paling bungsu semakin lama semakin bertambah banyak jumlahnya sementara hasil pertanian dan pohon yang dimilikinya ikut bertambah banyak sehinggan Pandiangan paling bungsu semakin terkenal sebagai warga paling kaya di daerah tersebut.
Setelah hampir ½ tahun kemudian, karena sudah sangat rindu akan kampung halamannya terlebih lebih kepada Orang Tua dan Saudara-Saudara Boru Saroding di Samosir, maka Boru Saroding meminta ijin kepada Suaminya untuk diberikan kesempatan pulang ke kampung halaman guna mengobati rasa rindunya tersebut.
“Suamiku… saya sudah rindu akan kampung halaman, saudara-saudara ku dan terlebih lebih orang tuaku di Samosir, ijinkan saya menjenguk mereka, saya tidak akan lama lama disana”
Kata Boru Saroding kepada Suaminya, dengan berat hati Suami Boru Saroding menjawab
“Sepertinya saya punya pirasat buruk jika aku ijinkan engkau berkunjung ke Samosir, sepertinya engkau tak akan kembali lagi ke tempat kita ini (Ulu Darat)”
Boru Saroding pun tidak putus asa dan tetap berupaya membujuk Suaminya agar Boru Saroding diberi ijin seraya berusaha memberikan kepercayaan kepada Suaminya.
“Suamiku… saya janji jika engkau ijinkan saya ke Samosir, saya akan pulang karena saya tidak mungkin meninggalkan Suamiku sendiri yang telah memberikan saya kebahagian dan telah meberikan aku kasih sayang, saya Cuma sebentar di Samosir setelah itu saya akan pulang ke sini (Ulu Darat)” jelas Boru Saroding kepada Suaminya.
Karena Boru Saroding sudah memohon dan memberikan penjelasan yang cukup meyakinkan Suaminya, maka Suami Boru Saroding pun mengijinkan Boru Saroding untuk bertamu ke Samosir tempat tinggal mertuanya, sehingga Suaminya mengantarkan Boru Saroding ketepi pantai Danau Toba untuk menyeberangkkan isterinya ke Samosir.
Dengan penuh keajaiban, Suami Boru Saroding memetik sepucuk daun pohon kemudain meletakkannya di tepi Danau dan tiba-tiba daun tersebut berubah menjadi sebuah Sampan, setelah itu Suami Boru Saroding mempersilahkan Boru Saroding memasuki sampan tersebut, kemudain Suami Boru Saroding berkata “Boru Saroding isteriku yang baik hati, engkau adalah putri raja yang telah menjadi isteriku, engkau berjanji akan cepat kembali dari Samosir karena kita saling mencintai dan saling menyayangi, jadi kumohon dengan sangat agar engaku penuhi janjimu dan cepat pulang ya isteriku, saya juga percaya akan apa yang telah engkau janjikan kepada ku?” kata Suaminya kepada Boru Saroding.
Boru Saroding pun mengangguk seraya mengiakan perkataan Suaminya dan berkata “Baik Suamiku, percayalah… saya akan cepat pulang dari Samosir, engkau boleh membuat sumpah” kata Boru Saroding kepada Suaminya dengan usaha untuk tetap menyakinkan Suaminya agar rencananya dapat berjalan lancar, lalu Suami Boru Saroding pun mengucapkan sebuah sumpah “Dekke Ni Sabulan Tu Tonggina Tu Tabona, Manang ise si ose padan..Turipurna tu magona” (Dalam bahasa Indonesia diartikan bahwa Setiap Orang yang Ingkar Janji/Sumpah maka Ia akan menanggung akibat buruk) dengan perasaan sedih yang mendalam dihati Suami Boru Saroding mendorong sampan dan “Berangkatlah isteriku Boru Saroding” kata Suaminya kepada Boru Saroding sambil melepas sampan yang dinaiki Boru Saroding ke arah Danau Toba yang saat itu situasi tampak damai tanpa angin dan tanpa gelombang bahkan saat itu, cuaca dilangit tampak begitu cerah, setelah Boru Saroding mendayung sampannya sekitar 5 (lima) meter dari bibir pantai Boru Saroding pun berkata dengan pelan seperti berbisik “Peh…bursik….…., kupikir engaku manusia…ternyata engkau hanya seekor ular dan hanya hantu berwajah manusia, kau kira saya akan kembali lagi ke Ulu Darat…tempat yang mengerikan itu? Dasar hantu berwajah manusia berbadan ular.” Kata Boru Saroding dengan pelan sambil tergesa gesa mendayung sampannya yang dibareingi rasa kecewa serta ketakutan.
Tiba tiab, cuaca dilangit berubah menjadi gelap, angin putting beliungpun, hujan dan suara petir datang sehingga ombak besar mulai muncul di Danau Toba dimana Boru Saroding sedang melintas dengan sampannya. Melihat situasi yang tiba tiba berubah, Boru Saroding pun menjerit-jerit ketakutan, dengan sekuat tenaga… Boru Saroding pun berupaya mengendalikan sampannya namun tiba tiba muncullah ombak yang sangat besar menuju Boru Saroding sehingga Boru Saroding pun takmampu mengendalikan sampan yang ditumpangi sehingga Boru Saroding dan sampannyapun ikut terseret gelombang besar tersebut tak lama kemudian Boru Saroding pun hanyut dibawa arus air kedasar Danau Toba.
Semenjak kejadian itu hingga sekarang, Boru Saroding tidak dapat ditemukan dan menurut keyakinan Orang Batak, khususnya warga Pulau Samosir menyakini bahwa Boru Saroding menjadi arwah penjaga Danau Toba maka sampai saat ini, banyak warga yang masih meyakini hal tersebut bahkan sesuai dengan kesaksian beberapa keturunan Pandiangan atau Siraja Sonang masih meyakini arwah Boru Saroding karena konon dikatakan Jika ada sebuah kapal yang sedang melintas di perairan Danau Toba dengan kondisi cuaca buruk dan gelombang/ombak besar maka salah satu penumpang kapal yang merupakan keturunan atau masih keluarga dari marga Pandiangan dapat meminta pertolongan melalui Doa kepada Boru Saroding agar ombak besar dan angin kencang yang sedang menghalau kapal tersebut dihentikan oleh Arwah Boru Saroding, akan tetapi hal ini ternyata benar benar terbukti karena hanya dengan memakan Sirih lalu berdoa memohon bantuan Arwah Boru Saroding, maka kendala apapun yang sedang dialami oleh kapal akan dihentikan.

Hingga kini sebagian besar warga Samosir masih meyakini legenda serta keberadaan Arwah Boru Saroding. Dan warga menyebutnya Namboru Boru Saroding Penunggu Danau Toba wilayah Rassang Bosi, Dolok Martahan, Palipi, Mogang, Sabulan Janji Raja, Tamba, Simbolon dan Hatoguan.
Dan dipesankan kepada seluruh warga yang berkunjung dan melewati daerah tersebut diminta agar tidak membuang ludah/sampah ke Danau serta tidak boleh berbicara kotor karena konon katanya orang yang tidak memenuhi pesan tersebut akan mengalami suatu hal yang cukup mengerikan dan kemungkinan besar kapal yang ditumpangi akan mengalami musibah besar.

Sementara Suami dari Boru Saroding dipanggil warga dengan sebutan “Amangboru Saroding” yang diyakini dan disaksikan sebagian warga Pandiangan sering melihat Suami Boru Saroding turun dari Ulu Darat menuju Danau tempat Ia mengantarkan isteri nya Boru Saroding, penampakan dari Suami Boru Saroding berwujud Ular Besar dan Panjang berbadan manusia berenang di sekitar tempat Boru Saroding tenggelam bersama sampan yang ditumpangi, sementara di Kaki Gunug Ulu darat tepatnya diperkampungan Pandiangan Desa Sabulan Kecamatan Sitiotio terdapat sebuah Permandian Namboru Boru Saroding yang diyakini sebagai tempat Boru Saroding mandi dan keramas dengan jeruk purut, tempat tersebut diberi nama “Par Anggiran Ni Namboru Boru Saroding” ditempat permandian Boru Saroding tersebut terdapat Pohon besar dimana pada dahan dan ranting pohon tersebut ditumpangi pohon Jeruk Purut akan tetapi buah dari Jeruk Purut yang menumpang ke Pohon besar tersebut tidak boleh diambil sembarang orang.

Kisah atau Legenda ini menjadi salah satu Objek Wisata di Kabupaten Samosir, Situs Budaya yang mengisahkan Legenda Perjalanan Boru Saroding dan kemudian tempat tersebut di beri nama “Par Anggiran Ni Namboru Boru Saroding” yang berlokasi di Desa Sabulan Kecamatan Sitiotio Kab.Samosir atau jika kita berkunjung ke tempat bersejarah tersebut, hanya sekitar ½ jam dengan menggunakan kapal dari Pelabuhan Mogang Kec.Palipi.
Tempat ini seiring dikunjungi oleh Keluarga Pandiangan atau Sirajasonang bahkan toris lokal maupun manca negara mengunjugi tempat ini dengan tujuan berjiarah sekaligus mengenang Perjalanan Namboru Boru Saroding Pandiangan.

Hingga saat ini, kisah nyata serta kesaksian tentang keberadaan Arwah Namboru Boru Saroding masih banyak dikisahkan oleh warga Samosir khususnya warga yang sedang melintas dari Daerah tersebut.

Demikian Legenda Namboru Boru Saroding ini saya posting kepada seluruh pengunjung Bona Pasogit Nainggolan Blogspot. Legenda ini berhasil saya publikasikan setelah melakukan pendekatan sekaligus penggalian informasi kepada warga yang masih memiliki hubungan langsung dengan Namboru Boru Saroding (Marga Pandiangan) bahkan selama penggalian informasi, saya juga mendengar kesaksian mereka atas penampakan Arwah Amangboru Saroding maupun Namboru Boru Saroding.

Sejarah Legenda Boru Saroding yang saya posting ini tentu saja masih belum sempurna bahkan mungkin jika sebelumnya pembaca pernah membaca atau mengetahui legenda ini dari sumber lain dan terdapat ada perbedaan, maka mohon untuk disampaikan komentar, agar kedepannya dapat dilakukan perbaikan.
Terimakasih….Horas….@Jefrin_goeltome

Kebudayaan Batak Toba Dalam Pernikahan

Menurut pandangan orang Batak Toba, kebudayaannya memiliki sistem nilai budaya yang amat penting,yang menjadi tujuan dan pandangan hidup mereka secara turun-temurun yakni kekayaan (hamoraon) , banyak keturunan (hagabeon), dan kehormatan (hasangapon). Yang dimaksud kekayaan ialah harta milik berujud materi maupun non-materi yang diperoleh melalui usaha atau melalui warisan. Keturunan juga termasuk ke dalam kategori kekayaan. Banyak keturunan ialah mempunyai banyak anak,cucu,cicit,dan keturunan-keturunannya,termasuk pemilikan tanaman serta ternak. Kehormatan merupakan pengakuan dan penghormatan orang lain atas wibawa dan martabat seseorang.
Batak Toba adalah salah satu sub suku Batak yang memiliki kebudayaan yang unik dan khas di antara suku batak yang lain. Sistem kepemimpinan sosial, yakni harajoan mih mereka jaga hingga sekarang. Realitas ini menunjukkan bahwa kebudayaan batak toba masih di jadikan panduan hidup masyarakatnya. Dalam konteks untuk tetap menjaga kearifan local, kebudayaan batak toba penting untuk dikaji dan di dokumentasikan.
Tanda kebesaran kebudayaan orang batak toba paling penting adalah pernah diberlakukannya berbagai hukum adat. Berdasarkan hukum adat kehidupan sosial orang batak toba diatur dalam sebuah bingkai kebudayaan tradisi. Dengan begitu, kebudayaan batak toba akan terus ada dan tidak punah di telan zaman. Beberapa hukum adat ini, hingga kini masih berlaku,akan tetapi beberapa sudah tidak di berlakukan dengan baik dikarenakan ketidaksiapan pemiliknya (orang batak toba) maupun akibat campur tangan penguasa.
Hukum adat yang berlaku di masyarakat batak toba antara lain hukum adat perkawinan, yakni yang berkaitan dengan ketentuan perkawinan,pertunangan, maskawin, hingga perceraian. Hukum adat warisan,hukum adat pemilikan tanah,hukum adat utang-piutang,hukum adat pelanggaran dan hukum dalam menyelesaikan perselisihan di masyarakat.
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi anatar bangsa, suku satu dan yang lain pada satu bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Pernikahan juga suatu hal yang sakral dan penting dalam kehidupan dua insan yang bertukar ikrar, termasuk keluarga mereka yang akan menyatu melalui kedua mempelai. Saat memutuskan untuk mengarungi kehidupan pernikahan, umumnya, kedua orangtua mempelai akan menyematkan harap untuk kedua mempelai. Setiap suku memiliki adat dan kebiasaan masing-masing. Tak terkecuali dalam adat Batak. Dalam pernikahan adat Batak, ada banyak tata aturan dan simbol. Dalam simbol-simbol tersebut, tersemat harap dan doa dari keluarga, kerabat, dan handai taulan.
Sistem perkawinan adalah eksogami yang tidak simetris. Perkawinan harus dengan marga lain dan tidak boleh bertukar langsung di antara dua keluarga yang berbeda marga. Dengan kata lain sistem lingkaran. Dalam hal jumlah istri,prinsip masa kini adalah monogami. Pada zaman Batak Toba dahulu prinsip yang dianut ialah poligami. Karenanya, parbalga tubu (keluarga besar) merupakan kehormatan dan kuasa. Itulah sebabnya banyak isteri merupakan persyaratan untukmemenuhi keinginan tersebut. Akan tetapi, adat melarang untuk mengambil adik kandung istri menjadi istri kedua atau kedua atau ketiga. Demikian juga dua orang laki-laki bersaudara kandung dilarang mengambil isrti dua orang perempuan kakak-beradik.
Dewasa ini prinsip perkawinan yang dianut sudah berubah dari sistem poligami menjadi monogami. Agama Kristen mendorong orang untuk meninggalkan kebiasaan nenek moyang lewat larangannya yang keras. Anggota yang melanggar akan dilakukan dari keanggotaan dan diumumkan secara terbuka.
Namun pada dasarnya pernikahan di dalam kebudayaan batak pernikahan yang idealbagi orang Batak Toba ialah antara seorang pemuda dengan putri saudara laki-laki ibunya(pisalai,mabrdo). Sistem ini dinamakan marboru ni tulang atau kawin “Pariban”. Demikian juga bila seorang pemudi kawin dengan putra saudara perempuan ayah (pasapea,fasiso) atau maranak ni namboru,disebut juga kawin “ Pariban”.
Pariban sebenarnya menjodohkan seorang anak laki-laki dan perempuan pada waktu di dalam kandungan tetapi sekarang kebanyakan orang batak sudah tidak menjodohkan anak seperti itu,melainkan ketika anak mereka sudah dewasa,para orang tua batak menjodohkan anak mereka pada keluarga mereka sendiri. Sebenarnya maksud orang batak menjodohkan anak mereka hanya untuk menjaga keutuhan harta keturunan mereka,agar harta yang mereka miliki jatuh kepada saudaranya sendiri bukan pada orang lain.
Contoh pariban : seperti si A mempunyai anak C dan kakak kandung perempuan si B punya anak si D.mereka sudah mempunyai anak masing-masing. Ketika anak mereka besar dan tumbuh menjadi seorang anak yang dewasa,kedua kakak beradik si A dan si B ini menjodohkan anaknya si C dan D itu,akan tetapi sebenarnya budaya pariban itu dulu menjodohkannya ketika si C atau si D di dalam kandungan dan salah satu orang tua berkata bahwa ”ketika anak itu lahir,dia akan ku jadian menantu” ini lah yang di sebut Pariban pada kebudayaan batak dulu. Tetapi pada zaman ini orang batak menjodohkan anaknya ketika anak itu sendiri sudah dewasa.
Pada umumnya tradisi Pariban ini sudah banyak ditinggalkan pada orang batak yang hanya mengetahui batak hanya sepintas, tetapi orang batak asli masih melestarikan tradisi atau adat istiadat mereka dari nenek moyang agar anak cucuknya mengetahui sejarah kebudayaan daerahnya ataupun adat istiadat yang selama ini diterapkan oleh nenek moyangnya dulu. Numun,sistem perkawinan semacam itu sudah tidak begitu diminati lagi. Perkawinan yang lebih bebas dengan marga lain yang tidak ada hubungan darah bahkan dengan etnis lain justru lebih digemari. Namun,demikian,belum pernah dikaji secara ilmiah seberapa jauh sistem perkawinan pariban sudah ditinggalkan.
Sebaliknya, kawin dengan putri dari saudara perempuan ayah (pisapaa, fasido) atau boru ni namboru merupakan hal terlarang. Larangan ini sesuai dengan struktur sosial dalihan na tolu bahwa bahwa hanya boru yang boleh mengambil istri dari kelompok hulahula. Pelanggaran atas larangan ini akan dihukum berat (pengusiran dari desa, tidak diakui sebagai anggota marga dan dilarang mengikutiupacara adat). Orang Batak Toba memperkuat hukum adat ini dengan ungkapan: “dang tarpaulak aek tu julu” atau tidak dapat dilalirkan kembali ke hulu. Dalam persoalan ini hulahula(keluarga mempelai perempuan) adalah sumber asal boru. Oleh karena itu, tidak mungkin proses itu diputar balik. Atrinya, boru menjadi sumber keturunan (secara simbolik adalah pohon kehidupan) bagi hulahula. Secara ideologis hulahula merupakan personifikasi dewata Batara Guru dan banua ginjang(dunia atas), sedangkan boru adalah personifikasi dewata Balabulan dan banua toru (dunia bawah). Itulah sebabnya kedudukan yang tinggi dari hulahula tidak dapat dijungkirbalikkan, sama seperti menukarkan kedudukan dewata Batara Guru dengan Balabulan. Secara realigi hal ini tidak diperbolehkan dan tidak dimungkinkan. Karena itu adat yang menjadi bagian dan kepercayaan keagamaan harus mematuhinya. Adat sebagai refleksi mikroskomik harus menuruti aturan makrokosmik,yaitu dewata Mulajadi Na Balon ( dewata tertinggi) dan banua ginjang atau dunia atas. Jadi, mengawini putrid dari saudara perempuan ayah berarti melanggar adat dan kepercayaan serta melawan keberadaan dewata.
Dilihat dari sudut pelaksanaan upacara perkawinan yang melibatkan banyak pihak, maka prinsip pertanggungjawaban adalah milik kelompok sosial. Setiap unsur pendukung struktur dan sistem sosial dalihan na tolu terlibat secara langsung dengan bertanggung jawab sesuai kedudukan sosial adatnya. Dengan demikian yang berkepentingan tidak hanya kedua pengantin atau kedua pihak orangtua dan kerabat dekat,namun juga setiap unsur dalihan na tolu dari kedua kelompok sosial tersebut. Keterlibatan semua unsur dalihan na tolu terwujud dalam tanggungjawab masing-masing kepada pengantin, kedua orangtua pengantin,serta tiap-tiap unsur dalihan na tolu dari kedua kelompok yang berhadapan secara langsung.
Adat membicarakan,tuhor dan sinamot seolah-olah merupakan proses tawar-menawar tuhor tuhor (harga) seorang gadis. Bahkan batalnya suatu rencana perkawinan tidak selalu datang dari orangtua dan saudara kandung gadis, tetapi juga dari kerabat dekat lainnya,termasuk dari tulang saudara laki-laki ibu. Faktor penyebabnya jika upat tulang (bagian dari maskawin yang menjadi hak tulang) tidak sesuai dengan permintaannya. Namun belakangan, ini hal seperti itu sudah sangat jarang terjadi.
Penyebab pembatalan perkawinan belakangan ini ialah bila di antara gadis atau pemuda masih ada ikatan janji dengan orang lain dan belum diputuskan sehingga datang gugatan salah satu pihak. Di samping itu, juga jika nama gadis tercemar,atau calon pengantin laki-laki diisukan sudah kawin dengan boru sileban (perempuan suku lain di perantauan) tanpa sepengetahuan orangtuanya.
Pada zaman orang Batak Toba dahulu, pembatalan perkawinan dengan alasan apa pun dapat mengakibatkan konflik yang serius bahkan bisa menimbulkan peerangan antarmarga dan antardesa,karena hal itu dianggap merendahkan derajat dan nama baik salah satu kelompok masyarakat atau desa.
Ada beberapa jenis perkawinan yang dikenal selama ini yaitu, kawin dialap jual (kawin dijual-jemput), yakni perkawinan adat dengan cara menjemput pengantin perempuan ke rumah orangtuanya karena pesta adat sepenuhnya dilakukan di rumah perempuan. Jenis perkawinan kedua adalah ditaruhon jual (kawin dijual-antar), pengantin perempuan diantar ke rumah laki-laki karena pesta dilakukan di rumah laki-laki. Jenis ketiga ialah mangaula (kawin lari), yakni perkawinan yang dilakukan tanpa persetujuan salah satu kedua keluarga. Laki-laki membawa pasangannya ke rumah saudaranya lalu diadakan upacara adat parajahon. Pemberitahuan dilakukan dengan mengutus beberapa orang boru dengan membawa upa suhut ( bagian ekor utuh seekor babi/kerbau) sebagai pertanda upacara merajakan gadis telah dilakukan. Dahulu perkawinan jenis ini selalu mengundang permusuhan dan peperangan. Belakangan ini perkawinan demikian sudah sepengetahuan keluarga perempuan. Keretakan di antara kerabat perempuan, kekerangmampuan ekonomi, dan faktor kakak gadis bersaudara yang belum kawin,mejadi alasan diizinkannya perkawinan lain. Jenis-jenis perkawinan perkawinwan tersebut masih berlaku.
Selain itu, ada jenis lain yang dahulu dikenal namun sudah ditinggalkan orang, misalnya kawin mangabing atau perkawinan dengan cara menculik. Kawin malturun atau gadis mendapatkan pujaannyadan mengajaknya kawintanpa persetujuan orangtuanya. Jenis ini kadang-kadang disebut juga mahuempe yang artinya merendahkan martabatnya sendiri.
Ada pula perkawinan yang dilakukan di antara orang yang pernah kawin. Perkawinan ini di sebut pareakhon atau ganti tikar,yaitu perkawinan seorang janda dengan saudara laki-laki mendiang suaminya. Perkawian jenis ini dimaksudkan agar ada yang mempertanggungjawabkan anak-anak almarhum, atau bila janda itu sedang hamil sewaktu ditinggal suaminya, sehingga akan ada yang menjadi ayah si bayi.
Sistem perkawinan yang lazim dewasa ini ialah perkawinan terbuka. Artinya, orang sudah bebas memilih calon istri maupun suami. Memang masih ada orangtua yang menginginkan perkawinan eksogami terbatas, artinya masih menginginkan perkawinan ideal, yakni kawin pariban (pisalai atau pasapea). Akan tetapi atau pada akhirnya putusan terakhir diberikan kepada orang muda yang akan memilih calon. Pesta perkawinan dilakukan masih seperti dulu. Artinya, kelompok yang terlibat tetap terdiri atas tiga struktur sosial dalihan na tolu yakni hulahula,dongan tubu dan boru. Ketiga unsur itu mempunyai hak dan tanggung jawab seperti dahulu. Ada sedikit perubahan di mana ketiga unsur dalihan na tolu tidak lagi memiliki hak menggagalkan perkawinan. Kalau dipaksakan, maka akan terjdi perpecahan keluarga. Dengan demikian,kekuasaan tertinggi sudah berada di tangan orangtua pengantin, tidak lagi di tangan kelompok komunal kerabat dekat.
Tempat pesta pensahan perkawinan di desa selalu dilihat dari sistem perkawinan yang dilakukan, apakah sistem dialap jual atau diaruhon jual. Bila di jemput-jual maka pesta diselenggarakan di halaman rumah pengantin perempuan, dan bila diantar-jual maka pesta dilakukan di halaman rumah pengantin laki-laki. Di kota-kota besar umum yang disewa. Namun gedung tersebut masih dilambangkan sebagai rumah pengantin putri, bila perkawinan itu memakai cara dijemput-jual. Sebaliknya, gedung dilambangkan sebagai rumah pengantin laki-laki bila perkawinan itu memakai sistem diantar-jual.
Perkawinan adat batak mewarisi budaya nenek moyang yang sangat kaya dengan ritual suci, mempelai pria dan wanita disandingkan menjadi pasangan suami istri setelah melewati beberapa rangkaian upacara adat. pernikahan atau perkawinan adat batak di kenal sangat melelahkan, karena begitu banyaknya upacara, maka di abad moderen ini upacara dan prosesei pernikahan adat batak agak lebih fleksibel, pengurangan dilakukan tanpa menghilangkan makna perkawinan.
Dalam prosesi perkawinan Batak diusahakan untuk memperlihatkan simbol yang disajikan secara artistik dengan perpaduan unsur seni gorga Batak, seni tenun Ulos Batak, seni vokal, seni gerak tari, dan perangkat-perangkat perkawinan Batak.
Tandok boras sipirnitondi merupakan simbol yang dibawa oleh pihak hula-hula (keluarga mempelai perempuan) dalam sistem kekerabatan Dalihan Natolu Batak. Golongan hula-hula adalah golongan yang diberi kedudukan terhormat, saluran berkat kepada keluarga Boru (mempelai laki-laki). Golongan yang lain dalam Dalihan Natolu adalah Dongan Sabutuha dan Boru. Boras sipirnitondi artinya adalah beras restu. Biasanya dibawa oleh penari, ditaruh di atas kepala dalam sebuah wadah dari rajutan jerami.
Pinggan pasu panungkunan adalah Piring adat untuk memulai pembicaraan adat perkawinan Batak yang disampaikan juru bicara keluarga mempelai wanita, berisi beras, sirih, dan uang 4 lembaran.
Tata cara upacara masih tetap sama, yakni orangtua pengantin laki-laki atau perempuan bersama kerabat dekat, sesuai dengan sistem perkawianan, menerima kehadiran semua kelompok hulahula,dengan tubu dan boru depan rumah tempat pesta. Kemudian diselenggarakan upacara makan setelah kedua belah pihak pengantin lakia,-laki menyampaikan bagian utama lauk (kerbau,sapi,babi,kambing) yang dinamakan tudu-tudu ni sipanganon, serta pihak pengantin perempuan menyampaikan ikan mas atau ikan Batak di atas piring besar yang dinamakan dengke simudur-mudur,dengke na labangon. Setelah berdoa sesuai agama dan kepercayaannya,makan bersama dilakukan. Pesta perkawinan selalu dihadiri oleh ratusan orang,bahkan sering mencapai ribuan orang, tergantung pada tingkat kekayaan, pangkat, jabatan, dan jumlah kerabat dekat orang yang berhajat.
Pembagian jambar,kemudian dilakukan oleh kedua kelompok pengantin setelah pembagian tubuh hewan sembelihan secara adat dan musyawarah. Setelah itu pihak pengantin laki-laki membayar hutang,yakni mahar atau maskawin yang belum dilunasi kepada orang tua dan kerabat pengantin perempuan. Jumlah maskawin yang diserahkan adalah sesuai dengan keputusan rembungan (tawar-menawar) yang dilakukan jauh sebelum upacara perkawinan, pada upacara marhata sinamot. Selesai pembagian jambar, hulahula menyampaikan selimut adat yang bernilai tinggi religi (ulos) kepada orangtua pengantin laki-laki yang dinamakan ulos pansamot, kepada saudara laki-laki dan perempuan ayah, kerabat dekat lainnya dan kedua mempelai. Pesta adat perkawinan ditutup dengan membagikan sejumlah uang kepada hadirin yang dinamakan ulos-ulos, symbol selimut yang diterima dari hulahula dan tuhor ni boru, maskawin perempuan yang diberikan oleh orangtua pengantin perempuan kepada para undanganya. Arti terdalam pemberian itu bahwa semua undangan adalah pemilik putrinya,dan maskawin adalah milik semua kerabat undangan serta sebagai pemberitahuan bahwa putrinya sudah dibeli orang lain. Itu sebabnya uang pembelian tersebut harus dinikmati oleh semua orang yang diundang.
Sistem adat perkawinan demilian masih dilakukan dan diikuti sampai kini baik di desa asal, di daerah perantauan maupun di kota-kota. Berbagai perubahan praksis telah terjadi tetapi esensinya tetap dipertahankan.

SIRAJA LONTUNG

SARIBU RAJA, SIBORU PAREME, BABIAT SITELPANG, LONTUNG

Si Raja Batak memiliki 3 orang anak yaitu:
1. Guru Tatea Bulan (Naimarata).
2. Si Raja Isumbaon (Nai Sumbaon).
3. Toga Laut (merantau ke Gayo/Alas – Aceh).
Guru Tatea Bulan memiliki 10 anak (5 laki-laki & 5 perempuan) yaitu:
1. Raja Uti, Raja Gumelenggeleng, Raja Biak-biak, Raja Hatorusan, Raja Nasora Mate, Raja Nasora Matua, Partompa Mubauba, Sipagantiganti Rupa.
2. Saribu Raja.
3. Siboru Pareme.
4. Siboru Biding Laut (Boru Anting Haomasan).
5. Limbong Mulana.
6. Siboru Anting Sabungan.
7. Siboru Haomasan (Bunga Haomasan).
8. Sagala Raja.
9. Malau Raja/Silau Raja.
10. Nantinjo Nabolon.
Saribu Raja dan Siboru Pareme adalah anak kembar. Tanpa sepengetahuan yang lain mereka berdua selingkuh dan Siboru Pareme akhirnya berbadan dua. Akihirnya bocorlah rahasia ini dan mereka berdua dikenakan hukuman mati. Tapi secara diam-diam Malau Raja (anak no. 9) membantu mereka berdua untuk melarikan diri ke hutan.
Setelah lama tinggal dihutan, bertemulah Siboru Pareme dengan Babiat Sitempang dan mereka kawin dengan meminta persetujuan Saribu Raja. Saribu Raja menyetujui itu dengan beberapa persyaratan tentunya. Lalu lahirlah Si Raja Lontung dengan wajah uli dan badan berbulu seperti babiat/harimau.
Dari kecil sampai dewasa, Si Raja Lontung selalu lebih pandai dari ayahnya (Babiat Sitempang) bila diajari segala macam hal. Akhirnya, marahlah ayahnya karena ayahnya selalu kalah bila bertarung dengan dia. Maka muncullah niat ayahnya untuk membunuh Si Raja Lontung. Siboru Pareme pun membujuk suaminya untuk belajar lagi ke hutan untuk memperdalam ilmunya supaya bisa mengalahkan anaknya kelak. Diam-diam Siboru Pareme membawa anaknya jauh dari ayahnya agar bisa diselamatkan dari murka ayahnya.
Akhirnya mereka berdua meninggalkan hutan dan menuju ke tepi Tao Toba untuk tinggal dan menetap disana (daerah sabulan). Setelah sekian lama tinggal disana, dibujuklah Si Raja Lontung ini untuk mencari pasangan hidup. Dia disuruh mencari paribannya untuk jadi istrinya di kampung tulangnya di Sianjur Mula-mula. Katanya: `Disana kau akan menemukan pancuran/mata air `Aek Si Pitu Dai’ dimana tempat boru ni tulangmu mandi-mandi’. Siboru Pareme memberikan beberapa petunjuk dan persyaratan ke pada anaknya Si Raja Lontung sebelum berangkat kesana. Dia memberikan cincin dan berkata kepada anaknya:’ Carilah yang mirip dengan wajahku, yang rambutnya sama denganku, dan gayanya mirip dengan gayaku. Temui dan tegurlah dan katakanlah pesan ibumu ini, lalu pasangkanlah cincin ini ke jarinya. Kalau cocok dijarinya, jangan dilepas cincin tersebut tetapi bawalah dia dan jangan mampir lagi ke kampung tulangmu.
Maka berangkatlah Si Raja Lontung menuju ke Aek Si Pitu Dai tempat dimana paribannya mandi-mandi. Tanpa sepengetahuan Si Raja Lontung, ibunya pun pergi ke Aek Si Pitu Dai dengan memakai jalan yang lain. Dengan waktu yang sudah diatur, sampailah ibunya terlebih dahulu ke Aek Si Pitu Dai tersebut dan mandi-mandi disitu. Terlihatlah oleh Si Raja Lontung ada perempuan sedang mandi-mandi disitu. Ditemui lah perempuan itu dan ditegurnya yang ternyata cocok dengan persyaratan yang diberikan ibunya. Lalu dipasangkanlah cincin yang dibawanya ke perempuan itu dan ternyata cocok juga. Lalu dibawalah perempuan itu untuk dijadikan istrinya tanpa mampir lagi ke kampung tulangnya. Jadi dibasa-basahon Tuhanta ma 9 ianakkoni Si Raja Lontung, mauliate ma di Tuhan i.
Anak-anak ni Si Raja Lontung (Lontung Si Sia Sada Ina):
1. Toga Sinaga (Bonor, Ompu Ratus, Uruk), Simanjorang, Simaibang, Barutu (Dairi), Bangun (Karo), Parangin-angin (Karo).
2. Toga Situmorang (Raja Pande/Lumban Pande, Raja Nahor/Lumban Nahor, Tuan Suhut ni Huta, Raja Ringo (Siringoringo Raja Dapotan, Siringoringo Pagarbosi, Siringoringo Siagian), Raja Rea/Sipangpang, Tuan Ongar/Rumapea, Sitohang (Uruk, Tonga-tonga, Toruan], Padang, Solin).
3. Toga Pandiangan (Ompu Humirtap/Pandiangan, Si Raja Sonang (Gultom, Samosir, Pakpahan, dan Sitinjak), Harianja, dan Sidari).
Toga Samosir: Rumabolon, Rumasidari (Ompu Raja Minar, Ompu Raja Podu, dan Ompu Raja Horis/Harianja).
Toga Gultom ada 4 bagian:
a. Gultom Huta Toruan: Guru Sinaingan.
b. Gultom Huta Pea: Somorong, Si Palang Namora, dan Si Punjung. Si Palang Namora: Tumonggopulo, Namoralontung, Namorasende (Ompu Jait Oloan) dan Raja Urung Pardosi/Datuk Tambun (Namora So Suharon, Baginda Raja, Saribu Raja Namora Soaloon, Babiat Gelamun), Pati Sabungan].
c. Gultom Huta Bagot.
d. Gultom Huta Balian.
4. Toga Nainggolan:
a. Toga Sibatu (Sibatuara, Parhusip)
b. Toga Sihombar (Rumana hombar, Lbn. Nahor, Lbn. Tungkup, Lbn. Raja, Lbn. Siantar, Hutabalian, Pusuk, Buaton, Nahulae).
5. Toga Simatupang (Togatorop, Sianturi, Siburian).
6. Toga Siregar (Silo, Dongoran, Silali/Ritonga/Sormin, Siagian).
7. Toga Aritonang (Ompu Sunggu, Rajagukguk, Simaremare).
8. Siboru Amak Pandan, muli tu Toga Sihombing.
9. Siboru Panggabean, muli tu Toga Simamora..

Toga Gultom


Seperti kita ketahui, Toga Gultom adalah keturunan no. 1 dari Si Raja Sonang. Keturunan yang lain adalah Toga Samosir, Toga Pakpahan, dan Toga Sitinjak. Pada jaman dahulu kala manusia di bumi ini masih sedikit. Si Raja Sonang membagi-bagi daerah kekuasaannya kepada keempat anaknya. Toga Gultom mendapat bagian di suatu tempat di P. Samosir yang bernama Tujuan Laut. Tempat ini adalah daerah pertama yang diduduki oleh Toga Gultom.

Toga Gultom memiliki empat orang anak yaitu Huta Toruan (Tujuan Laut), Huta Pea, Huta Bagot, dan Huta Balian. Seluruh keturunan Toga Gultom hidup di Tujuan laut tersebut dan setelah mereka menjadi banyak, mereka membuka lahan disekitarnya, diantaranya Sitamiang yang diberikan kepada Huta Toruan.

Pada suatu saat salah seorang keturunan Huta Pea, yaitu Si Palang Namora menyebrang lautan menuju ke daerah Sibisa dan menetap disana. Daerah Sibisa adalah daerah yang diduduki oleh marga Sirait. Didaerah ini Si Palang Namora menikah dengan boru Sirait dan memiliki beberapa orang anak, yaitu Tumonggopulo, Namoralontung, Namorasende, dan Raja Urung Pardosi. Keadaan ekonomi keluarga Si Palang Namora ini berkembang dengan baik dan menjadi jauh lebih baik dibandingkan dengan perekonomian anak lelaki dari keluarga Sirait. Hal ini menimbulkan ketakutan pada keluarga Sirait, sehingga mereka berusaha agar Si Palang Namora meninggalkan kampung mereka. Pada akhirnya Si Palang Namora meninggalkan daerah Sibisa dan kembali ke P. Samosir. Akan tetapi salah seorang anak tidak ikut bersama mereka, yaitu Raja Urung Pardosi. Pada saat itu Raja Urung Pardosi sedang menimba ilmu hadatuon di daerah Hatinggian.

Si Palang Namora bersama keluarganya menetap di P. Samosir. Ketiga anak yang ikut bersamanya pada akhirnya menyebar ke beberapa daerah di sekitar Tujuan Laut, yaitu Sitamiang, Huta Hotang, Janji Matogu, Siriaon, dan Gonting. Anak No. 1 dan 2, yaitu Tumonggopulo dan Namoralontung menyebar ke Gonting. Sedangkan anak no. 3 (Namorasende) menduduki daerah Huta Hotang. Selanjutnya penyebaran keturunan Gultom Huta Pea adalah ke daerah Janji Matogu dan Siriaon. Penyebaran ke daerah ini dimulai dari keturunan Ompu Saruambosi (Raja Na Iringgit), yaitu keturunan Gultom Huta Pea generasi ke 10 (dapat dilihat pada bagian Family Tree/Tarombo) dari anak ketiga si Palang Namora. Ceritanya, Raja Na Iringgit memiliki empat orang permaisuri, yaitu:

  1. Br. Parhusip
  2. Br. Samosir
  3. Br. Parhusip
  4. Br. Manurung

Permaisuri yang pertama, yaitu Br. Parhusip tidak memiliki anak lelaki. Permasuri yang kedua, yaitu Br. Samosir, menurunkan tiga orang anak lelaki, yang kemudian bermukim di Siriaon. Sedangkan permaisuri yang ketiga, yaitu Br. Parhusip menurunkan lima orang anak lelaki, yang kemudian bermukim di Janji Matogu. Permaisuri yang keempat, yaitu Br. Manurung, menurunkan empat orang anak Lelaki, yang kemudian bermukim di Sitamiang. Masing-masing anak menjadi cikal bakal penyebaran Gultom ke daerah tersebut.

Penyebaran Keturunan Gultom Huta Toruan ke daerah Siregar

Gultom Huta Toruan yang bermukim di daerah Sitamiang pada akhirnya banyak yang menetap dan bertambah banyak di daerah Siregar. Adapula yang menyebar ke daerah lain, misalnya Pangaribuan. Adapun keturunan Gultom Huta Toruan adalah:

  1. Op. Parpodang
  2. Op. Martabun
  3. Op. Sonar
Penyebaran Keturunan Gultom Huta Pea ke Pangaribuan

Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa Raja Urung Pardosi tidak ikut pulang ke P. Samosir bersama keluarganya, karena saat itu ia sedang menimba ilmu hadatuon di daerah Hatinggian.

Seperti layaknya seorang anak yang baru saja menyelesaikan sekolah, Raja Urung Pardosi hendak pulang ke rumah orang tuanya di Sibisa. Akan tetapi ia mendapati rumah orang tuanya kosong. Akhirnya bersama dua orang teman seperguruannya, yaitu Harianja dan Pakpahan, mereka berjalan terus. Dalam perjalanan itulah mereka menemukan burung Tekukur. Mereka berusaha menangkap burung itu dengan cara menyumpitnya, agar burung itu jatuh. Tetapi burung itu sulit sekali ditangkap sehingga tanpa disadari mereka terus mengikuti burung itu sampai hari gelap. Akhirnya mereka sampai di suatu daerah yang bernama Pangaribuan. Disana mereka ditampung oleh sebuah keluarga bermarga Pasaribu. Sebagai tuan rumah yang baik, Pasaribu berusaha melayani tamunya dengan baik. Pasaribu meminta sang istri untuk menyediakan makanan bagi para tamu. Akan tetapi si istri menginformasikan bahwa tidak ada lauk-pauk yang dapat disajikan. Pasaribu menjawab,”Huting ima seat”. Akhirnya si istri menyembelih huting (kucing), dan mengolahnya menjadi makanan siap saji yang berupa tanggo-tanggo, sementara tamu-tamu mereka beristirahat. Setelah makanan siap disajikan, Pasaribu membangunkan tamu-tamunya, dan mempersilahkan mereka makan. Raja Urung Pardosi bertanya kepada teman-temannya, “Apa lauknya?”. Yang dijawab oleh teman-temannya, “Tanya saja!”. Karena mereka telah menimba ilmu hadatuon, mereka memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu yang bagi orang lain mustahil. Akhirnya Raja Urung Pardosi bertanya kepada tanggo-tanggo di meja makan,”Jika engkau ayam, berkokoklah!”, namun tidak terjadi sesuatu. Raja Urung Pardosi bertanya kembali, “Jika engkau kambing, mengembiklah”, namun tetap tidak terjadi sesuatu. Raja Urung Pardosi dan teman-temannya terus menyebutkan nama-nama hewan, namun tanggo-tanggo itu tetap tidak bersuara, sampai akhirnya salah seorang menyebutkan,”Jika engkau kucing, mengeonglah”, akhirnya berloncatanlah kucing dari dalam piring tanggo-tanggo itu. Pasaribu yang melihat kejadian itu menjadi kaget, dan lari pontang-panting ketakutan. Ia mengira ketiga tamunya bukan manusia biasa. Seluruh kampung menjadi geger, dan akhirnya melarikan diri keluar dari daerah itu. Adapun ketiga orang itu, Raja Urung Pardosi, Harianja, dan Pakpahan, akhirnya menetap di daerah itu. Raja Urung Pardosi, yang digelari Datuk Tambun, ini menjadi keturunan Gultom pertama yang menetap di Pangaribuan.Ia memiliki empat orang anak, yaitu:

  1. Namora so Suharon yang tinggal di desa Parlombuan
  2. Baginda Raja, tinggal di desa Parsibarungan
  3. Saribu Raja, tinggal di desa Batumanumpak
  4. Pati Sabungan, tinggal di desa Batunadua

Selanjutnya penyebaran meluas ke daerah Sipirok, yang dimulai dari keturunan Saribu Raja. Saribu Raja memiliki dua orang anak yaitu, Namora Soaloon yang tetap tinggal di desa Batumanumpak, dan Babiat Galemun, yang kemudian tinggal di desa Simangambat, Sipirok.

Penyebaran Keturunan Gultom Huta Bagot & Huta Balian

Pada saat keluarga Si Palang Namora kembali ke P. Samosir, setelah bermukim sekian lama di Sibisa, keturunan Gultom Huta Bagot, menyebar ke beberapa daerah, termasuk ke Sumatera Timur. Namun ada satu daerah yang diakui sebagai “tanah air” keturunan Gultom Huta Bagot, yaitu daerah Joring.

Sedangkan keturunan Gultom Huta Balian, pada umumnya bermukim di daerah Sipollung di Sitamiang.

Demikianlah sejarah penyebaran keturunan Toga Gultom secara garis besar. Mungkin akan lebih baik jika perwakilan dari masing-masing anak Toga Gultom, melengkapi kisah penyebaran marga Gultom, mengapa bisa sampai di kampung halaman Anda saat ini, karena tidak ada cerita yang lebih baik selain dari Anda sendiri yang menjadi tokoh ceritanya.

SEJARAH BATAK

Versi sejarah mengatakan Si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula, lebih kurang 8 km arah Barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan, dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba.
 
Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama Si Raja Buntal adalah generasi ke-20.
 
Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India menyerang SRIWIJAYA yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang TAMIL di Barus.
 
Pada tahun 1275 MOJOPAHIT menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar rahun 1.400 kerajaan NAKUR berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.
Dengan memperhatikan tahun tahun dan kejadian di atas diperkirakan:
  • Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur Danau Toba (Simalungun sekarang), dari Selatan Danau Toba (Portibi) atau dari Barat Danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang-orang Tamil di Barus. •Akibat serangan Mojopahit ke Sriwijaya, Si Raja Batak yang ketika itu pejabat Sriwijaya yang ditempatkan di Portibi, Padang Lawas dan sebelah Timur Danau Toba (Simalungun).
 
  • Sebutan Raja kepada Si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba kepadanya.
 
Demikian halnya keturunan Si Raja Batak seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan, dsb. Meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah.
 
Selanjutnya menurut buku TAROMBO BORBOR MARSADA anak Si Raja Batak ada 3 (tiga) orang yaitu : GURU TETEABULAN, RAJA ISUMBAON dan TOGA LAUT. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya Marga-marga Batak.
 
Sumber:
disarikan dari buku "LELUHUR MARGA MARGA BATAK, DALAM SEJARAH SILSILAH DAN LEGENDA" cet. ke-2 (1997) oleh Drs Richard Sinaga, Penerbit Dian Utama, Jakarta.
 
 
 
SIAPAKAH ORANG BATAK ?
 
Orang Batak terdiri dari 5 sub etnis yang secara geografis dibagi sbb:
 
  1. Batak Toba (Tapanuli), mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah mengunakan Bahasa Batak Toba.
  2. Batak Simalungun, mendiami Kabupaten Simalungun dan menggunakan Bahasa Batak Simalungun.
  3. Batak Karo, mendiami Kabupaten Karo dan menggunakan Bahasa Batak Karo.
  4. Batak Mandailing, mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan dan menggunakan Bahasa Batak Mandailing.
  5. Batak Pakpak, mendiami Kabupaten Dairi dan menggunakan Bahasa Pakpak.
 
 
 
Suku Nias yang mendiami Kabupaten Nias (Pulau Nias) mengatakan bahwa mereka bukanlah orang Batak karena nenek moyang mereka bukan berasal dari Tanah Batak. Namun demikian, mereka mempunyai marga-marga seperti halnya orang Batak.
 
 
DALIHAN NA TOLU, TOLU SAHUNDULAN
(The Philosophy of Life)
 
Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba) atau TOLU SAHUNDULAN (bahasa Simalungun).
Dalihan dapat diterjemahkan sebagai "tungku" dan "sahundulan" sebagai "posisi duduk".
Keduanya mengandung arti yang sama, 3 POSISI PENTING dalam kekerabatan orang Batak, yaitu:
 
  1. HULA HULA atau TONDONG, yaitu kelompok orang orang yang posisinya "di atas", yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut SOMBA SOMBA MARHULA HULA yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.
  2. DONGAN TUBU atau SANINA, yaitu kelompok orang-orang yang posisinya "sejajar", yaitu: teman/saudara semarga sehingga disebut MANAT MARDONGAN TUBU, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
  3. BORU, yaitu kelompok orang orang yang posisinya "di bawah", yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari disebut ELEK MARBORU artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat.
 
 
 
Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut: ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi BORU.
Dengan dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang.
 
Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat.
Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya.Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal.
 
MARGA dan TAROMBO
 
MARGA adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal).
Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki.
Seorang ayah merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki-laki yang meneruskan marganya.
Sesama satu marga dilarang saling mengawini, dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu.
 
Menurut buku "Leluhur Marga Marga Batak", jumlah seluruh Marga Batak sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.
 
TAROMBO adalah silsilah, asal-usul menurut garis keturunan ayah.
Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam marga.
Bila orang Batak berkenalan pertama kali, biasanya mereka saling tanya Marga dan Tarombo.
Hal tersebut dilakukan untuk saling mengetahui apakah mereka saling "mardongan sabutuha" (semarga) dengan panggilan "ampara" atau "marhula-hula" dengan panggilan "lae/tulang".
Dengan tarombo, seseorang mengetahui apakah ia harus memanggil "Namboru" (adik perempuan ayah/bibi), "Amangboru/Makela",(suami dari adik ayah/Om), "Bapatua/Amanganggi/Amanguda" (abang/adik ayah), "Ito/boto" (kakak/adik), PARIBAN atau BORU TULANG (putri dari saudara laki laki ibu) yang dapat kita jadikan istri, dst.
 
 
ULOS BATAK
 
 
Secara harafiah, ulos berarti selimut, pemberi kehangatan badaniah dari terpaan udara dingin.
Menurut pemikiran leluhur Batak, ada 3 (tiga) sumber kehangatan : (1) matahari, (2) api, dan (3) ulos.
 
Dari ketiga sumber kehangatan tersebut, ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Matahari sebagai sumber utama kehangatan tidak kita peroleh malam hari, dan api dapat menjadi bencana jika lalai menggunakannya.
Dalam pengertian adat Batak "mangulosi" (memberikan ulos) melambangkan pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada penerima ulos.
Biasanya pemberi ulos adalah orangtua kepada anak-anaknya, hula-hula kepada boru.
 
Ulos terdiri dari berbagai jenis dan motif yang masing-masing memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dalam upacara adat yang bagaimana.
 
Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang "non Batak" bisa diartikan penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos.
Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat diiringi ucapan semoga dalam menjalankan tugas tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.
Ulos juga digunakan sebagai busana, misalnya untuk busana pengantin yang menggambarkan kekerabatan Dalihan Natolu, terdiri dari tutup kepala (ikat kepala), tutup dada (pakaian) dan tutup bagian bawah (sarung).
 
 
 
HORAS!
 
Adalah salam khas orang Batak yang berarti selamat, salam sejahtera, yang kerap diucapkan dalam kehidupan sehari-hari bila 2 orang atau lebih bertemu.
Padanan kata horas adalah Mejuah-juah (Batak Karo, Batak Pakpak), Yahobu dari daerah Nias. Sedangkan Ahoiii! adalah salam khas daerah pesisir Melayu di Sumatera Utara.
Horas bisa juga berarti selamat jalan/datang, selamat pagi/siang/malam dan lain lain yang maknanya baik. Karena populernya kata horas, orang-orang non Batak juga sering mengucapkan kata tersebut jika bertemu dengan orang Batak.
 
LEGENDA SI RAJA BATAK
 
Konon di atas langit (banua ginjang, nagori atas) adalah seekor ayam bernama Manuk Manuk Hulambujati (MMH) berbadan sebesar kupu-kupu besar, namun telurnya sebesar periuk tanah. MMH tidak mengerti bagaimana dia mengerami 3 butir telurnya yang demikian besar, sehingga ia bertanya kepada Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta) bagaimana caranya agar ketiga telur tsb menetas.
 
Mulajadi Na Bolon berkata, "Eramilah seperti biasa, telur itu akan menetas!" Dan ketika menetas, MMH sangat terkejut karena ia tidak mengenal ketiga makhluk yang keluar dari telur tsb. Kembali ia bertanya kepada Mulajadi Nabolon dan atas perintah Mulajadi Na Bolon, MMH memberi nama ketiga makhluk (manusia) tsb. Yang pertama lahir diberi nama TUAN BATARA GURU, yang kedua OMPU TUAN SORIPADA, dan yang ketiga OMPU TUAN MANGALABULAN, ketiganya adalah lelaki.
 
Setelah ketiga putranya dewasa, ia merasa bahwa mereka memerlukan seorang pendamping wanita. MMH kembali memohon dan Mulajadi Na Bolon mengirimkan 3 wanita cantik : SIBORU PAREME untuk istri Tuan Batara Guru, yang melahirkan 2 anak laki laki diberi nama TUAN SORI MUHAMMAD, dan DATU TANTAN DEBATA GURU MULIA dan 2 anak perempuan kembar bernama SIBORU SORBAJATI dan SIBORU DEAK PARUJAR. Anak kedua MMH, Tuan Soripada diberi istri bernama SIBORU PAROROT yang melahirkan anak laki-laki bernama TUAN SORIMANGARAJA sedangkan anak ketiga, Ompu Tuan Mangalabulan, diberi istri bernama SIBORU PANUTURI yang melahirkan TUAN DIPAMPAT TINGGI SABULAN.
 
Dari pasangan Ompu Tuan Soripada-Siboru Parorot, lahir anak ke-5 namun karena wujudnya seperti kadal, Ompu Tuan Soripada menghadap Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta). "Tidak apa apa, berilah nama SIRAJA ENDA ENDA," kata Mulajadi Na Bolon. Setelah anak-anak mereka dewasa, Ompu Tuan Soripada mendatangi abangnya, Tuan Batara Guru menanyakan bagaimana agar anak-anak mereka dikawinkan.
"Kawin dengan siapa? Anak perempuan saya mau dikawinkan kepada laki-laki mana?" tanya Tuan Batara Guru.
"Bagaimana kalau putri abang SIBORU SORBAJATI dikawinkan dengan anak saya Siraja Enda Enda. Mas kawin apapu akan kami penuhi, tetapi syaratnya putri abang yang mendatangi putra saya," kata Tuan Soripada agak kuatir, karena putranya berwujud kadal.
 
Akhirnya mereka sepakat. Pada waktu yang ditentukan Siboru Sorbajati mendatangai rumah Siraja Enda Enda dan sebelum masuk, dari luar ia bertanya apakah benar mereka dijodohkan. Siraja Enda Enda mengatakan benar, dan ia sangat gembira atas kedatangan calon istrinya. Dipersilakannya Siboru Sorbajati naik ke rumah. Namun betapa terperanjatnya Siboru Sorbajati karena lelaki calon suaminya itu ternyata berwujud kadal.
Dengan perasaan kecewa ia pulang mengadu kepada abangnya Datu Tantan Debata.
"Lebih baik saya mati daripada kawin dengan kadal," katanya terisak-isak.
"Jangan begitu adikku," kata Datu Tantan Debata. "Kami semua telah menyetujui bahwa itulah calon suamimu. Mas kawin yang sudah diterima ayah akan kita kembalikan 2 kali lipat jika kau menolak jadi istri Siraja Enda Enda."
 
Siboru Sorbajati tetap menolak. Namun karena terus-menerus dibujuk, akhirnya hatinya luluh tetapi kepada ayahnya ia minta agar menggelar "gondang" karena ia ingin "manortor" (menari) semalam suntuk.
Permintaan itu dipenuhi Tuan Batara Guru. Maka sepanjang malam, Siboru Sorbajati manortor di hadapan keluarganya.
Menjelang matahari terbit, tiba-tiba tariannya (tortor) mulai aneh, tiba-tiba ia melompat ke "para-para" dan dari sana ia melompat ke "bonggor" kemudian ke halaman dan yang mengejutkan tubuhnya mendadak tertancap ke dalam tanah dan hilang terkubur!
 
Keluarga Ompu Tuan Soripada amat terkejut mendengar calon menantunya hilang terkubur dan menuntut agar Keluarga Tuan Batara Guru memberikan putri ke-2 nya, Siboru Deak Parujar untuk Siraja Enda Enda.
Sama seperti Siboru Sorbajati, ia menolak keras. "Sorry ya, apa lagi saya," katanya.
Namun karena didesak terus, ia akhirnya mengalah tetapi syaratnya orang tuanya harus menggelar "gondang" semalam suntuk karena ia ingin "manortor" juga. Sama dengan kakaknya, menjelang matahari terbit tortornya mulai aneh dan mendadak ia melompat ke halaman dan menghilang ke arah laut di benua tengah (Banua Tonga).
 
Di tengah laut ia digigit lumba-lumba dan binatang laut lainnya dan ketika burung layang-layang lewat, ia minta bantuan diberikan tanah untuk tempat berpijak.
Sayangnya, tanah yang dibawa burung layang-layang hancur karena digoncang NAGA PADOHA.
Siboru Deak Parujar menemui Naga Padoha agar tidak menggoncang Banua Tonga.
"OK," katanya. "Sebenarnya aku tidak sengaja, kakiku rematik. Tolonglah sembuhkan."
Siboru Deak Parujar berhasil menyembuhkan dan kepada Mulajadi Na Bolon dia meminta alat pemasung untuk memasung Naga Padoha agar tidak mengganggu. Naga Padoha berhasil dipasung hingga ditimbun dengan tanah dan terbenam ke benua tengah (Banua Toru). Bila terjadi gempa, itu pertanda Naga Padoha sedang meronta di bawah sana.
 
Alkisah, Mulajadi Na Bolon menyuruh Siboru Deak Parujar kembali ke Benua Atas.
Karena lebih senang tinggal di Banua Tonga (bumi), Mulajadi Na Bolon mengutus RAJA ODAP ODAP untuk menjadi suaminya dan mereka tinggal di SIANJUR MULA MULA di kaki gunung Pusuk Buhit.
Dari perkawinan mereka lahir 2 anak kembar : RAJA IHAT MANISIA (laki-laki) dan BORU ITAM MANISIA (perempuan).
 
Tidak dijelaskan Raja Ihat Manisia kawin dengan siapa, ia mempunyai 3 anak laki laki : RAJA MIOK MIOK, PATUNDAL NA BEGU dan AJI LAPAS LAPAS. Raja Miok Miok tinggal di Sianjur Mula Mula, karena 2 saudaranya pergi merantau karena mereka berselisih paham.
 
Raja Miok Miok mempunyai anak laki-laki bernama ENGBANUA, dan 3 cucu dari Engbanua yaitu : RAJA UJUNG, RAJA BONANG BONANG dan RAJA JAU. Konon Raja Ujung menjadi leluhur orang Aceh dan Raja Jau menjadi leluhur orang Nias. Sedangkan Raja Bonang Bonang (anak ke-2) memiliki anak bernama RAJA TANTAN DEBATA, dan anak dari Tantan Debata inilah disebut SI RAJA BATAK, YANG MENJADI LELUHUR ORANG BATAK DAN BERDIAM DI SIANJUR MULA MULA DI KAKI GUNUNG PUSUK BUHIT!

Template by:

Free Blog Templates